May 3, 2025
Disleksia Bukan Bodoh Cerita, Tantangan, dan Cara Bangkit

Jujur, awalnya saya nggak pernah tahu apa itu disleksia. Saya cuma sering dengar orang ngomong, “Anak itu malas belajar,” atau “Kenapa sih belum bisa baca juga?” Dan itu juga yang dulu saya pikirkan waktu melihat keponakan saya yang susah banget mengeja kata-kata yang sederhana.

Awalnya kami pikir dia cuma kurang fokus. Tapi lama-lama mulai terasa aneh. Anak lain sudah bisa baca paragraf pendek, dia masih kebalik antara huruf “b” dan “d”, kadang “p” jadi “q”. Nggak jarang dia menangis karena capek disuruh latihan membaca. Sebagai orang dewasa yang waktu itu belum ngerti, saya juga sempat marah dan frustrasi, merasa dia “ngeyel” atau “manja”. Tapi ternyata… saya yang salah.

Setelah ngobrol sama guru sekolahnya dan akhirnya konsul ke psikolog anak, baru deh ketahuan: disleksia.

Ciri-Ciri Disleksia yang Saya Pelajari dari Pengalaman Ini

Ciri-Ciri Disleksia

Kalau dipikir-pikir, tanda-tanda disleksia ini sebenarnya udah kelihatan dari awal. Tapi karena kita (dan bahkan sebagian besar guru) nggak ngerti, kita sering anggap remeh.

Berikut beberapa gejala disleksia yang saya lihat langsung:

  • Sulit membedakan huruf yang mirip (b-d, m-n, p-q).

  • Membaca sangat lambat, atau bahkan menghindari membaca.

  • Kesulitan menulis kata sederhana yang sering digunakan.

  • Punya ingatan jangka pendek yang lemah terhadap urutan — misalnya susah mengingat urutan hari, bulan, atau huruf alfabet.

  • Kesulitan memahami instruksi lisan dengan banyak langkah.

  • Kesalahan ejaan berulang meski sudah diajarkan berkali-kali.

Satu hal yang perlu dicatat: anak dengan disleksia bukan berarti bodoh. Banyak dari mereka justru punya imajinasi yang luar biasa dan cerdas dalam hal lain, seperti menggambar, berpikir kreatif, atau bercerita.

Apa Penyebab Disleksia? Ternyata Bukan Karena Anak Nggak Belajar

Ini bagian yang paling mengubah cara pandang saya.

Setelah ikut beberapa sesi edukasi dari psikolog dan baca-baca dari sumber terpercaya, saya baru tahu kalau disleksia adalah gangguan neurologis bawaan. Artinya, ini bukan sesuatu yang “terjadi” karena anak malas atau orang tua nggak ngajarin. Tapi lebih ke cara otak memproses bahasa tertulis yang berbeda dari kebanyakan orang.

Beberapa faktor penyebab disleksia antara lain:

  • Genetik: Biasanya ada riwayat keluarga dengan masalah membaca/menulis.

  • Perkembangan otak: Bagian otak yang mengelola bahasa berkembang berbeda.

  • Kondisi selama kehamilan atau kelahiran: Misalnya, bayi lahir prematur, kekurangan oksigen saat lahir, atau infeksi berat selama masa kehamilan.

Saya juga baru ngeh, ternyata dulu saya punya sepupu yang sering dibilang “bodoh” karena nggak bisa baca, padahal dia jago banget main piano dan desain. Bisa jadi dia juga disleksia, tapi nggak pernah didiagnosis karena kurangnya informasi saat itu.

Kenapa Deteksi Dini Itu Penting Banget

Kalau saya bisa balik waktu, saya bakal pengen tahu soal disleksia ini lebih awal.

Ciri-ciri disleksia sejak dini bisa muncul bahkan dari usia 4–5 tahun. Beberapa tanda awal yang patut dicurigai:

  • Anak sering menyebut nama benda dengan salah meskipun sering diajarkan.

  • Sulit mengenali huruf meskipun sudah diajarkan berkali-kali.

  • Gagal mengingat irama lagu atau puisi pendek.

  • Sering lupa nama teman atau benda umum.

  • Tidak tertarik atau malah menghindar saat sesi membaca.

Saya pernah baca sebuah studi yang bilang bahwa anak yang terdiagnosis dan dibantu sejak dini punya kemungkinan 80% lebih besar untuk berkembang optimal dibanding yang telat dibantu. Jadi, semakin cepat kita mengenali tanda-tandanya, semakin besar peluang anak untuk tumbuh percaya diri dan berprestasi.

Cara Mengatasi Disleksia yang Realistis (Dari Pengalaman Pribadi)

Oke, jadi setelah tahu bahwa keponakan saya disleksia, apa yang kami lakukan?

Pertama-tama, kami berhenti menyalahkan. Itu penting banget. Anak dengan disleksia udah cukup stres dengan kesulitannya, jangan ditambah dengan rasa malu atau merasa “beda”.

Berikut beberapa hal yang kami lakukan dan ternyata cukup efektif:

  1. Terapi membaca dengan pendekatan multisensori
    Kami ikut kelas privat dengan metode Orton-Gillingham, di mana anak diajak belajar lewat visual, audio, dan gerakan tangan. Bukan cuma duduk baca buku. Misalnya, huruf dibuat dari pasir, jadi anak bisa meraba bentuk huruf sambil mengejanya.

  2. Gunakan font khusus disleksia
    Kami mulai pakai font seperti OpenDyslexic di semua materi bacaan. Ini membantu banget karena font ini didesain supaya huruf-huruf nggak gampang tertukar.

  3. Beri waktu lebih lama saat membaca atau menulis
    Ini penting. Jangan buru-buru. Kalau anak merasa aman dan nggak ditekan, mereka lebih mudah belajar.

  4. Teknologi bantu
    Ada banyak aplikasi baca seperti “Ghotit” dan “ClaroSpeak” yang bisa membaca teks untuk anak. Ini bantu banget waktu latihan mandiri.

  5. Bangun rasa percaya diri
    Kami sering kasih pujian atas usaha, bukan hasil. Kami juga cari kegiatan di mana dia bisa menonjol — menggambar, bikin kerajinan tangan, main musik. Jangan biarkan disleksia mendefinisikan seluruh identitasnya.

Pelajaran yang Saya Petik dan Harapan Saya ke Depan

Saya belajar bahwa disleksia bukan akhir dunia. Tapi ketidaktahuan dan stigma terhadapnya bisa jadi bencana besar.

Saya juga sadar, kadang kita sebagai orang dewasa lebih suka menilai daripada memahami. Ini berlaku buat guru, orang tua, bahkan saudara. Kita terlalu cepat menyimpulkan anak bodoh, pemalas, atau “nggak niat”. Padahal bisa jadi, mereka sedang berjuang dengan keras tapi nggak tahu harus bagaimana.

Yang paling bikin hati nyesek adalah ketika keponakan saya bilang, “Aku nggak suka sekolah, aku selalu salah.” Itu titik balik kami. Kami nggak mau dia tumbuh dengan rasa malu pada dirinya sendiri.

Sekarang, dia udah bisa baca buku cerita tipis. Nggak cepat sih, tapi dia senyum tiap kali berhasil baca satu halaman tanpa bantuan. Dan itu jauh lebih berarti dibanding nilai 100 di raport.

Penutup

Disleksia itu nyata, tapi bukan halangan. Anak disleksia bukan anak gagal. Mereka cuma butuh cara belajar yang berbeda dan dukungan tanpa henti dari lingkungan sekitarnya.

Kalau kamu punya anak, keponakan, murid, atau teman yang kamu curigai punya gejala disleksia — tolong bantu mereka lebih awal. Bukan dengan menuduh, tapi dengan memahami.

Dan buat kamu yang mungkin pernah mengalami sendiri kesulitan belajar yang nggak pernah dimengerti orang lain… mungkin kamu cuma belum dapat pendekatan yang tepat. Nggak apa-apa, kita semua belajar dengan cara berbeda.

Author