
Saya masih ingat betul momen pertama kali melihat seseorang kejang karena epilepsi. Bukan di film. Bukan di sekolah kedokteran. Tapi di depan mata saya sendiri. Badannya kaku, matanya terbalik, busa keluar dari mulutnya. Saat itu, saya benar-benar panik. Saya nggak tahu harus ngapain.
Dan ternyata… itu bukan terakhir kalinya.
Beberapa tahun kemudian, saya punya keponakan yang divonis menderita epilepsi. Seorang anak ceria berusia 6 tahun yang tiba-tiba harus mulai minum obat setiap hari, diawasi ketat, dan dilarang terlalu lelah atau stres. Dari sanalah perjalanan saya memahami penyakit ini dimulai—bukan sebagai dokter, tapi sebagai keluarga yang peduli.
Gejala Epilepsi: Lebih dari Sekadar Kejang
Salah kaprah yang paling sering saya lihat? Banyak orang kira epilepsi kejang-kejang doang. Padahal, gejalanya bisa jauh lebih luas dan nggak selalu kelihatan dramatis.
Beberapa gejala epilepsi yang saya pelajari secara langsung:
-
Blank stare: Pandangan kosong selama beberapa detik.
-
Gerakan berulang: Misalnya mengunyah atau mengedipkan mata tanpa sadar.
-
Kebingungan tiba-tiba: Anak saya pernah kayak ‘hilang’ sebentar, terus balik normal dalam 10 detik.
-
Jatuh mendadak: Tanpa sebab, tiba-tiba tergeletak.
Dan yang bikin tricky, kadang kejang itu terjadi saat tidur. Jadi orang tua bisa nggak sadar anaknya sebenarnya mengalami serangan malam hari.
Saya jadi belajar untuk lebih peka. Setiap perubahan perilaku sekecil apapun, saya catat.
Penyebab Epilepsi: Bukan Cuma Faktor Genetik
Waktu pertama kali dokter bilang “epilepsi,” saya langsung mikir: ini pasti karena genetik. Tapi ternyata… penyebabnya bisa sangat kompleks dan nggak selalu ketahuan.
Yang saya tahu sekarang, penyebab epilepsi bisa termasuk:
-
Cedera kepala (jatuh, kecelakaan)
-
Infeksi otak (seperti meningitis)
-
Masalah saat kelahiran (kurangnya oksigen waktu lahir)
-
Tumor otak
-
Keturunan – Tapi ini nggak selalu berarti pasti menurun, cuma faktor risiko.
Dan ya, ada juga kasus epilepsi idiopatik, alias… nggak tahu penyebabnya. Frustrasi banget, ya, tapi itu kenyataan yang harus kita terima.
Epilepsi pada Anak: Rasanya Seperti Roller Coaster Emosi
Punya anak dengan epilepsi itu… capek. Bukan cuma fisik, tapi juga mental dan emosional. Saya pernah nyaris breakdown karena harus bangun tengah malam cuma buat ngecek, “Dia masih bernapas nggak?” atau “Tadi gerakan itu kejang bukan sih?”
Yang bikin sedih, banyak anak dengan epilepsi jadi dijauhi temannya. Ada yang takut ketularan. Padahal jelas-jelas bukan penyakit menular.
Anak saya pernah ngomong, “Aku nggak mau sekolah lagi, temanku takut aku kejang.” Dan itu… menyayat hati banget.
Makanya saya mulai edukasi lingkungan. Guru, teman-temannya, bahkan tetangga. Saya ajarin apa itu kejang, apa yang harus dilakukan kalau kejadian, dan yang paling penting: anak saya itu tetap sama kayak anak lain. Cuma butuh perhatian lebih sedikit.
Obat Epilepsi: Sahabat Setia Tapi Penuh Drama
Ngomongin soal pengobatannya, saya harus jujur—ini bagian paling bikin gemas dan galau.
Beberapa hal yang saya pelajari dari pengalaman:
-
Obat harus diminum rutin banget. Kalau telat aja, bisa langsung kambuh.
-
Efek samping nyata. Mulai dari ngantuk berat, susah konsentrasi, sampai perubahan mood.
-
Cari obat yang cocok itu butuh waktu. Kadang harus ganti 2-3 kali baru nemu yang pas.
-
Biaya. Duh, jangan ditanya. Apalagi kalau harus kontrol rutin ke dokter spesialis saraf.
Tapi saya juga lihat perubahan nyata setelah pengobatan berjalan baik. Kejang jadi makin jarang, tidur lebih nyenyak, dan anak saya jadi lebih percaya diri.
Apakah Epilepsi Bisa Sembuh?
Pertanyaan sejuta umat.
Jawaban jujurnya? Bisa iya, bisa tidak.
Ada yang akhirnya bebas kejang selama bertahun-tahun dan bisa lepas dari obat. Ada juga yang harus terus terapi seumur hidup. Saya pribadi kenal satu anak yang sudah 5 tahun tanpa serangan, dan dokter menyatakan dia remisi—artinya bebas dari gejala, walau masih tetap dipantau.
Tapi saya juga tahu kasus lain yang… ya, kejang tetap muncul meski udah minum obat.
Makanya mindset yang saya bangun adalah: kita rawat sebaik mungkin, tapi tetap realistis. Fokus bukan ke “sembuh total,” tapi ke “hidup normal meski dengan epilepsi.”
Cara Mengobati Epilepsi Secara Alami dan Medis
Saya sempat mencoba segala cara. Dari medis sampai herbal. Dan ini kesimpulan jujur saya:
Medis:
-
Obat antiepilepsi → efektif, tapi harus disiplin
-
Terapi okupasi → bantu anak punya rutinitas sehat
-
Operasi otak → opsi terakhir kalau obat nggak mempan
Alami (komplementer):
-
Diet ketogenik → ini game changer, tapi harus dengan pengawasan dokter
-
Relaksasi & mindfulness → bantu banget untuk anak yang sensitif stres
-
Tidur cukup → wajib. Kurang tidur bisa picu kejang
Tapi saya ingatkan: semua harus dikonsultasikan dulu ke dokter. Jangan iseng-iseng stop obat karena baca “testimoni” sembuh dari YouTube. Itu bahaya banget.
Pelajaran Terbesar: Empati dan Edukasi
Dari semua perjalanan ini, satu hal yang paling membekas adalah pentingnya edukasi dan empati.
Banyak orang yang menilai epilepsi itu “kutukan” atau “kesurupan.” Duh, please deh! Ini abad 21. Saya selalu bilang ke orang-orang: epilepsi itu gangguan listrik di otak, bukan hal mistis.
Dan buat kamu yang punya anak, saudara, atau teman dengan penyakit ini—please… kasih dukungan. Jangan cuma kasihan, tapi pahami. Dengarkan. Peluk kalau perlu.
Penutup: Hidup Bisa Tetap Indah, Meski Bersama Epilepsi
Saya nggak bilang hidup dengan penyakit ini itu mudah. Nggak. Tapi bukan berarti mustahil untuk bahagia. Saya lihat sendiri anak saya bisa sekolah, bisa main, bahkan bisa ikut lomba tanpa minder.
Yang penting adalah:
-
Dapatkan diagnosa yang tepat
-
Ikuti pengobatan secara disiplin
-
Jaga pola hidup
-
Bangun dukungan dari keluarga dan lingkungan
Epilepsi memang nggak selalu bisa disembuhkan. Tapi orang dengan penyakit ini bisa tetap punya hidup yang bermakna. Dan kita yang ada di sekitarnya bisa jadi bagian dari harapan itu.
Kalau kamu punya pengalaman soal epilepsi—apapun itu—yuk share di kolom komentar. Cerita kamu bisa jadi kekuatan buat orang lain yang sedang berjuang.