
Jujur aja, pertama kali saya dengar soal intermittent fasting (IF), saya skeptis banget. Makan dibatasi dalam jangka waktu tertentu? Kayaknya nggak masuk akal! Saya dulu tipe orang yang sarapan besar, ngemil siang, makan siang, ngemil sore, lalu makan malam (plus camilan sebelum tidur). Jadi, ide untuk puasa beberapa jam dalam sehari terdengar seperti hukuman.
Tapi setelah baca beberapa penelitian dan melihat teman saya berhasil turun berat badan dengan IF, saya mulai penasaran. Jadi, saya putuskan untuk coba – walaupun dengan sedikit ketakutan akan kelaparan sepanjang hari.
Apa Itu Intermittent Fasting?
Secara sederhana, intermittent fasting adalah pola makan yang mengatur kapan kita makan, bukan hanya apa yang kita makan. Ada beberapa metode populer:
- 16:8 → Puasa 16 jam, makan dalam jendela 8 jam. Misalnya, makan dari jam 12 siang sampai 8 malam.
- 5:2 → Makan normal 5 hari dalam seminggu, lalu 2 hari hanya makan sekitar 500-600 kalori.
- OMAD (One Meal a Day) → Hanya makan sekali dalam sehari, biasanya dalam waktu 1 jam.
- Eat-Stop-Eat → Puasa penuh 24 jam sekali atau dua kali seminggu.
Saya memutuskan untuk mencoba 16:8, karena menurut saya ini metode yang paling masuk akal dan mudah diterapkan.
Hari-Hari Awal: Tantangan dan Adaptasi Saat Intermittent Fasting
Hari pertama? Nggak bohong, berat banget! Saya biasa sarapan jam 7 pagi, jadi waktu harus nunggu sampai jam 12 siang untuk makan pertama, saya merasa super lapar dan sedikit cranky. Apalagi pas lihat teman-teman makan di pagi hari, rasanya pengen menyerah.
Tapi setelah seminggu, badan mulai terbiasa. Saya mulai menyadari kalau rasa lapar itu bukan karena tubuh saya benar-benar butuh makan, tapi lebih ke kebiasaan. Begitu saya bisa mengalihkan perhatian ke hal lain (minum air, sibuk kerja, atau olahraga ringan), ternyata bisa banget bertahan sampai jam makan siang.
Hal menarik lainnya? Saya punya lebih banyak energi di pagi hari! Saya kira nggak makan akan bikin saya lemas, tapi justru sebaliknya. Aku merasa lebih fokus, nggak ngantuk setelah makan pagi (karena ya… nggak makan pagi), dan lebih produktif.
Manfaat yang Saya Rasakan Setelah Beberapa Minggu
Setelah sekitar 3 minggu, saya mulai melihat beberapa perubahan yang signifikan:
✅ Berat badan turun – Tanpa harus menghitung kalori secara ketat, saya otomatis makan lebih sedikit dalam sehari.
✅ Lebih fokus & energi meningkat – Gula darah lebih stabil, nggak ada lagi “crash” setelah makan besar.
✅ Pencernaan lebih baik – Nggak kembung dan perut terasa lebih ringan.
✅ Tidur lebih nyenyak – Mungkin karena makan malam saya lebih awal dan tubuh punya waktu untuk mencerna sebelum tidur.
Saya juga merasa lebih sadar akan makanan yang saya konsumsi. Karena hanya punya waktu makan yang terbatas, saya mulai memilih makanan yang lebih bernutrisi, bukan sekadar ngemil asal-asalan.
Tips Sukses untuk Pemula yang Mau Coba Intermittent Fasting
Kalau kamu mau coba intermittent fasting, berikut beberapa hal yang bisa membantu agar sukses dan nggak menyerah di awal:
1. Mulai Pelan-Pelan
Jangan langsung lompat ke 16:8 atau bahkan 24 jam puasa. Mulai dengan 12:12 dulu (12 jam puasa, 12 jam makan) lalu tingkatkan perlahan.
2. Banyak Minum Air
Kadang rasa lapar sebenarnya hanya dehidrasi. Minum air putih, teh tanpa gula, atau kopi hitam bisa membantu menekan rasa lapar.
3. Hindari Makan Berlebihan Saat Jendela Makan
Godaan terbesar adalah “balas dendam” setelah puasa. Jangan langsung makan dalam jumlah besar atau makanan tinggi gula dan karbohidrat olahan. Pilih makanan tinggi protein, serat, dan lemak sehat.
4. Tetap Aktif Bergerak
Olahraga ringan seperti jalan kaki atau yoga bisa membantu tubuh lebih cepat beradaptasi dengan IF.
5. Dengarkan Tubuh
Kalau merasa lemas banget atau nggak nyaman, jangan ragu untuk menyesuaikan jadwal makan atau berhenti sejenak. Setiap tubuh berbeda, jadi jangan memaksakan diri.
Mitos Seputar Intermittent Fasting
Selama menjalani IF, saya juga menemukan beberapa mitos yang sering bikin orang takut mencoba:
❌ “Intermittent fasting bikin metabolism lambat” → Justru sebaliknya! IF bisa meningkatkan metabolisme dengan meningkatkan hormon pertumbuhan dan sensitivitas insulin.
❌ “Harus makan dalam jumlah besar saat jendela makan” → IF bukan tentang makan sebanyak mungkin dalam waktu tertentu, tapi lebih ke mengatur pola makan agar lebih efisien.
❌ “Nggak bisa olahraga saat puasa” → Bisa! Banyak orang yang melakukan fasted workout (olahraga saat puasa) dan tetap mendapatkan hasil yang baik.
Kesimpulan: Apakah Intermittent Fasting Cocok untuk Semua Orang?
Dari pengalaman saya, intermittent fasting adalah metode yang efektif dan fleksibel untuk mengontrol pola makan dan meningkatkan kesehatan. Tapi tentu saja, nggak semua orang cocok. Kalau kamu punya kondisi medis tertentu (seperti diabetes atau gangguan makan), lebih baik konsultasi dengan dokter dulu sebelum mencoba.
Yang paling penting, diet apapun harus bisa dijalani dalam jangka panjang. Kalau IF terasa terlalu berat atau nggak sesuai dengan gaya hidupmu, nggak ada salahnya mencari alternatif lain yang lebih cocok.
Bagi saya? Intermittent fasting bukan sekadar diet, tapi lebih ke pola hidup. Saya masih melakukannya sampai sekarang, meskipun sesekali fleksibel kalau ada acara atau liburan. Yang penting, saya tetap sadar akan pola makan saya dan merasa lebih baik secara keseluruhan.
Kalau kamu penasaran, coba aja selama seminggu dan rasakan sendiri efeknya! 😉